Inspirasi Sekolah Bersama


Rabu, 3 Juni 2015,

Hari ini saya dan kedua teman saya berangkat liputan ke Lapak Pemulung di Pejaten, Jakarta Selatan. Liputan kali ini disponsori tugas matkul Citizen Journalism dari dosen saya, di mana deadline tugasnya super fast and furious. 
Walaupun tugas deadline buru-buru, kelompok saya yang hanya terdiri dari tiga orang ini tetap mengupayakan hasil yang baik. Tidak asal jadi, asal cepat. Dalam pengerjaannya video liputan pun kami harus bisa serba sendiri dari shooting sampai editing video.

Siang ini cahaya matahari begitu terik. Dari Kebon Jeruk, Jakarta Barat ke Pejaten, Jakarta Selatan membutuhkan sekitar 3 jam untuk sampai di sana. Selama perjalanan ke sana, saya berpikir sejenak. Mencoba memahami dan terbiasa dengan tugas-tugas liputan yang selalui disertai deadline. Seperti saya minum kencur, selalu disertai dengan manisan jahe. Saya juga mencoba menikmati perjalanan dengan seulas senyum tipis pemberi semangat, di kala tiada satupun yang menyemangati. 

Menempuh 3 jam di Jakarta tidak terasa begitu lama karena sekali lagi saya mencoba menikmati perjalanan tanpa mengeluh. There was a few things i did to make myself enjoy the ride. Ajak teman bercanda, misalnya. 

Sampai di lapak pemulung sekitar pukul 14.00 WIB. Dari kejauhan, terlihat lautan sampah yang menggunung. Saya dan teman-teman mulai mempersiapkan DSLR dan tripod utnuk liputan. Warga di sana mulai melirik ke arah kami. Mungkin tak biasa dengan adanya kamera profesional yang akan meliput sebagian kecil kehidupan mereka. Tapi tak apa, saya mencoba menebarkan senyum pada tiap mata yang menatap tajam ke arah kami. Lagi-lagi, saya mencoba menikmati setiap hal yang terjadi saat itu. Sesuatu yang tak bisa saya gambarkan ketika saya remaja. Berada di tengah lapak pemulung dan ditemani aroma asam sampah, serta tatapan para pemulung yang terlihat penasaran.  Berada di sini untuk melihat sisi lain dari kehidupan saya yang masih berada di zona nyaman. 

Saya dan teman berjalan menelusuri ruangan belajar Sekolah Bersama. Ruangan itu berada di atas. Menuju ke sana harus menaiki tangga yang sempit dan sangat rawan dinaiki anak-anak. Tangga itu terbuat dari kayu dan dibentuk sedemikian rupa menjadi tangga yang seadanya. Benar-benar hanya sebagai penyambung ruang bawah dan ruang atas. 

Ketika sampai di atas, anak-anak sudah berkumpul untuk belajar. Mereka terdiri dari anak-anak marjinal yang sebagian kurang merasakan kasih sayang orang tua. Berada di sini membuat saya tersenyum pahit dan ingin mencubit pipi saya agar bangun dari "kemanjaan" saya selama ini. Saya tertawa sinis melihat saya yang suka mengeluh malas kuliah karena cuaca panas. Haha. Hanya karena cuaca panas saya mengeluh. Tapi, anak-anak ini, mereka terbiasa dengan panas dan pengapnya ruangan yang dekat dengan tumpukkan sampah. Mereka bergembira asalkan diajari mewarnai, menggambar, mengaji. Ya, asalkan mereka bisa belajar dan tertawa bersama, mereka sudah senang. 

Saya dan teman saya mulai meliput kegiatan komunitas tersebut sampai pada selesainya. Hari berganti sore dan saya bersyukur karena bisa meliput sesuatu yang bisa menginspirasi saya sendiri. Something that I couldn't imagine before. Thanks God to teach me how to be a thankful person. 


Ini video hasil liputan kami. Jauh dari sempurna (teknis, sound, dsb), tapi biarlah semangat belajar dari anak-anak tersebut yang menyempurnakan. 


Inspirasi Sekolah Bersama

Video karya saya dan teman-teman ini berhasil ditayangkan di Net 10 sebagai produk Citizen Journalism. 



Comments