HELLO, YOGYAKARTA!
Setelah kurang lebih 16 tahun lalu, seneng banget akhirnyapada Senin, 30 Januari-3 Februari yang lalu saya kembali ke Yogyakarta. Perjalanan saya dan
temen-temen di kota pelajar ini bisa terealisasikan, setelah sekian lama kami
merancang jadwal trip secara matang-matang. Berawal dari hasrat kami (baca:
mahasiswa semester akhir) ingin liburan, dilanjuti celetukan ke Yogya, nggak
nyangka keinginan kami yang udah lama banget ini bukan hanya sekadar wacana
aja. Yes, finally we’ve really traveled on our own!
Well, here
I’d like to tell you my short-awesome-travel-story in some interesting places
in Yogyakarta.
P.S: Hanya pengalaman semata, bukan postingan yang informatif atau semacam review tempat wisata. Dan, maaf nggak bakalan banyak foto pemandangan (and mostly selfie :P) karena
saat liburan saya bener-bener hanya mau menikmati suasana, makanya smartphone
disimpen rapat-rapat. Hehehe.
Take a seat
and be ready to read our wonderful journey!
Hari Pertama
Jalan-jalan (31/01/2016)
Goa Pindul dan Kali Oya
Our very
first place was Goa Pindul, yaitu objek wisata alam bawah tanah, dengan aliran
sungai di sepanjang goa. Di tempat
wisata ini kami dibawa keliling sama pemandu wisata menelusuri Goa Pindul
dengan ban dalam besar yang udah ada pengait berupa tali menyilang (untuk kita
duduk di atas-nya). Sebelum sampai ke Goa Pindul, kami sempet naik mobil pick
up dengan bak terbuka yang kemudian kami mesti jalan kaki dulu beberapa meter
untuk ngambil ban-nya. Nggak tau kenapa, justru menurut saya naik mobil itu aja
juga udah jadi pengalaman seru menuju Goa Pindul, karena jalanannya yang nggak
rata, supirnya rada ngebut, dan kami semua harus berdiri, actually it was so extremely
a fun time to yell out loud with your friends.
Pemandu
wisatanya bilang kalau Goa Pindul ini udah ada sejak berabad-abad yang lalu.
Konon, dulu suka ada yang bertapa di Goa ini selama berhari-hari, nggak makan
dan minum. Makanya, nggak heran saat di spot tertentu di dalam Goa, si pemandu
ini bilang “Ayo, yang punya keinginan bisa diucapin di sini biar terkabul.”
Terus, ada juga beberapa kepercayaan melalui stalagmit dan stalagtit yang ada
di dalam Goa Pindul, kayak ada yang bisa bikin lebih muda, buat perkasa, dan
lainnya. Hmm.. ada yang bisa bikin cepet
wisuda dan nggak usah pake sidang-sidang skripsi segala nggak, pak?
Kali Oya
Kira-kira 30 menit,
perjalanan pun selesai. Destinasi selanjutnya yang sepaket sama Goa Pindul
adalah Kali Oya. Di sini, masih dengan ban besar, kami berkeliling kali Oya,
terbuai dengan aliran sungai, sembari melihat tebing-tebing indah. Awal mula mengarungi Kali Oya, kami sempet merasakan diombang-ambing gelombang kencang di satu titk, yang mana ini serunya kebangetan walau cuma beberapa detik.
Saya juga sempet mencoba terjun dari tebing ketinggian sekitar empat meter. Rasanya kayak beberapa detik aja saya buru-buru mau mendarat ke air, soalnya nggak biasa melayang di udara. Hahaha.
Saya juga sempet mencoba terjun dari tebing ketinggian sekitar empat meter. Rasanya kayak beberapa detik aja saya buru-buru mau mendarat ke air, soalnya nggak biasa melayang di udara. Hahaha.
Oh yah,
dengan bayar Rp 110 ribu, udah bisa nikmatin kedua wisata plus makan siang
(Indomie), loh. Daebakk!!
Pantai
Sadranan
Yuk, lanjut
ke pantai indah nan ngangenin ini. Sampai ke sini, yang saya liat pertama kali
adalah hamparan luas pasir putih dan indahnya gradasi biru laut. Tujuan kami ke
sini nikmatin keindahan alam laut dengan snorkeling. It was my very first
experience of snorkeling in a sea. Makanya, saya super-duper exciting.
Awalnya, sih,
rada nggak terbiasa bernapas melalui mulut dan pakai bantuan alat. Temen saya
malah sempet kesedak air laut yang asinnya kayak masakan mbak warteg yang mau
kawin. Tapi, lama-kelamaan malah jadi relax sendiri sampe-sampe lupa daratan.
Nyadar-nyadar saya udah jauh dari rombongan. Hahaha. Rasanya tenang banget
rentangin seluruh badan sambil terbawa pelannya arus dan lihat kehidupan alam walau
hanya di permukaan lautnya aja. Walau akhirnya dapet “oleh-oleh’ luka di kaki
dan lutut sana-sini (kena batu karang, karena pake celana yang super pendek)
pengalaman menikmati indahnya warna-warni batu karang dan ikan-ikan super cute
nggak bakal terlupakan. Untungnya,
setelah luka-luka, pemandu snorkeling kami semprot alcohol ke kaki kita-kita
untuk mengeringkan luka.
Anyway, entah
kenapa, saya jadi banyak bersyukur deh melihat keindahan alam kayak begini. So,
I promised myself that I’ll do this again someday and somewhere..
Pantai Pok
Tunggal
Masih bertema
basah-basahan, seusainya dari pantai Sadranan langsung merapat ke Pok Tunggal.
Pantai ini warna lautnya nggak sebiru Sadranan dan ombak sama arusnya kenceng
banget pas sore-sore ke sana.
Tapi, yang kece dari pantai di sini adalah pasir putih cantiknya, sunset that shines so pretty, dan batu karang raksasanya yang megah. Makanya, kami ke sini hanya ingin foto-foto aja. Maklumlah, generasi minelial hidupnya nggak luput dari: foto dan media sosial.
Btw, saya
nyari-nyari pohon instagram-able yang sering muncul di review travelling
orang-orang kalau ke sana, tapi kok gak ada yah??
Hari Kedua (1/2/2017)
Hutan Pinus
dan Puncak Becici
Selama menuju puncak
becici menggunakan mobil Travello, mata dimanjakan dengan pemandangan hijau yang
terbentang luas, baik itu hutannya ataupun bukit-bukit di sekitar jalan.
Nah, sesampai di kawasan Puncak Becici, kami harus jalan kaki dulu mengitari Hutan Pinus. Dalam perjalanan ini kami langsung disuguhkan dengan suasana sejuk, adem, dan aroma pinus yang menusuk hidung di sekitar hutan pinusnya. Pohon-pohon pinus terlihat begitu kuat, berdiri tegak dan tinggi. And yes, I think this is the best place for me to breathe properly.
Nah, sesampai di kawasan Puncak Becici, kami harus jalan kaki dulu mengitari Hutan Pinus. Dalam perjalanan ini kami langsung disuguhkan dengan suasana sejuk, adem, dan aroma pinus yang menusuk hidung di sekitar hutan pinusnya. Pohon-pohon pinus terlihat begitu kuat, berdiri tegak dan tinggi. And yes, I think this is the best place for me to breathe properly.
Seraya menuju
rumah pohon yang terkenal di Puncak
Becici, kami mengambil waktu untuk foto-foto di sekitar hutan Pinus.
Waktu itu masih musim hujan, jadi tanahnya agak becek. Beberapa kali saya dan temen-temen hampir jatuh karena licin. Nggak heran setiap melangkah ke tempat yang tanjakannya tinggi atau turunannya terlalu tajam, kami bakalan mengingatkan satu sama lain untuk berhati-hati. Are’nt we too sweet?
Sekitar 15
menit, kami sampai ke Puncak Becici. Yang jelas, pemandangan yang saya lihat
dari Puncak Becici adalah bentangan bukit hijau yang begitu luaaaaaaaaaaaaaas
sekali dan sangat menakjubkan. Di sini, tempat yang unik dan eye-catching
adalah rumah-rumah pohon kecil untuk duduk santai atau foto-foto.
Tapi, jujur,
saya sendiri kalau duduk di rumah pohon itu nggak bakal kerasa santai karena
ngeri ketinggian. Apalagi naik ke rumah pohonnya itu menggunakan tangga dari
bambu yang bolong-bolongnya agak lapang. Belum lagi nggak ada penjaga atau
pemandunya di situ. Pokoknya ekstra hati-hati banget, deh, kalau pulang masih
mau pake kaki. Hahahhaha.
Gumuk Pasir
Parangkusumo
Nahhh, ini
tempat yang saya nanti-nantikan. Kenapa? The answer is very simple: because
this place is so instagram-able. Hamparan pasir yang begitu luas bak padang
gurun di Mesir bikin mau nari-nari kayak artis-artis Bollywood, deh. Di sini
juga disediain properti untuk foto-foto, kayak pohon sakura buatan, ayunan, dan
bingkai besar berbentuk lambang cinta.
Karena saya
dan rombongan datang ke sana waktu siang hari, pasirnya panas banget kayak
nyetrum-nyetrum kaki kalau pake sandal ataupun sepatu yang ada celah buat kaki.
Sayangnya, kami nggak sampe sore hari di sini, jadi nggak kedapetan, deh,
sunset di Gumuk Pasir yang begitu magical kalau lihat di foto-foto Instagram.
Hehehe. Tapi, yang paling saya syukuri saat di sana adalah nggak ada hujan sama
sekali. Kebayang dong kalau pasir kena air hujan? Nggak keliatan keindahan
pasirnya, pasti. Hihi.
Pantai Parangtritis
Setelah
berfoto-foto ria di hamparan pasir, kami sempat melipir ke pantai Paris alias
Parangtritis karena dekat dengan lokasi Gumuk Pasir. Pantai ini terkenal banget
di Yogya. Kata pengemudi kami, ternyata pantai ini sering diadakan ritual untuk
sesuatu seperti “penyucian” di Parangtritis. I was curious to know more, but we
already arrived there, so we closed the conversation.
Pantai ini
nggak dikhususkan untuk berenang, karena memang ombak dan arusnya yang sangat
kencang. Ketika saya di sana pun angin lautnya kencang, suara ombak juga berderu lantang diikuti gelombangnya yang besar pula. Jadi, kami hanya
duduk-duduk santai aja di bawah tenda payung beralaskan karpet yang mampu
menampung sekitar 10 orang. Cukup bayar Rp 25.000, saya dan temen-temen (total
sembilan orang) muat-muat aja, sih. Paling enak lagi kalau minum air kelapa..
Uncch, kerasa banget suasana pantainya.
Di sini
banyak banget pengunjung yang hadir, walau bukan hari liburan atau akhir pekan
sekalipun.
Bonus foto:
Hari Ketiga
(2/2/2017)
Taman Sari
Kraton Yogyakarta
Di hari ketiga
berkelana di Yogya, saya dan temen-temen memutuskan untuk mengunjungi tempat
wisata yang dekat dengan lokasi hotel di Jalan Sartono, Mantrijero, yaitu Taman
Sari Kraton. Kira-kira dibutuhkan 30 menit kami berjalan kaki (udah termasuk waktu
tawa-tiwi dan candaan nggak jelas) hingga sampai sana.
Jadi, Taman
Sari ini, seperti yang kita tahu, adalah taman atau kebun istana Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat. Karena bangunan ini memang udah berabad-abad, jadi
arsitekturnya pun terlihat kuno, tapi tetap artistik. Ketika menapak jejak di Taman Sari, terlihat
banyak lorong-lorong yang mengantarkan kami ke ruangan-ruangan yang berbeda.
Memang, Taman
Sari Kraton begitu luas dan terdapat banyak ruangan yang memiliki latar
belakang berbeda-beda. Jadi, ketika di sini, peta denah bangunan dan brosur
tentang keterangan sejarah dan ruangan di sana diperlukan banget supaya bisa
menjelajahi bangunan ini dengan jelas dan nggak bingung.
Ketika kami
berkeliling sekitar taman, ternyata di beberapa tempat juga ada rumah-rumah
warga yang bertengger di sana. Rumah-rumah mereka sederhana dan beberapa
sedikit kental dengan kebudayaan Jawa.
Yang paling
saya ingat di sini adalah pesona air mancur dan kolam yang indah dan juga
suasana lorong-lorong yang sepi dan sedikit mencekam, to be honest.
Jl. Malioboro
Yang paling
terkenang di benak saya dari jalanan ini adalah keteraturan para pengguna
jalan. Walaupun ada bagian di mana jalan hanya bisa satu arah (karena satu
jalan lagi dipergunakan untuk becak, delman, dan sebagainya), tapi para
pengguna tetap tertib dan bahkan jalanannya nggak macet.
Jalan yang
disediakan untuk pejalan kaki juga cukup besar dan disediakan kursi-kursi kayu
yang berjejer di sepanjang jalan. Tampaknya, pemerintah di sini memang sadar
akan keberadaan para wisatawan sangat penting di Yogyakarta.
Saya dan
temen-temen juga sempat menyisihkan uang untuk berburu oleh-oleh di Pasar Malioboro. Udah pasti deh kami harus expert dalam tawar-menawar, karena para pedagang di pasar Malioboro
mematok harga selalu di atas rata-rata. Barang-barang di sini sebenarnya nggak
jauh beda dari yang ada di pasaran (selain pasar di Yogyakarta), seperti gelang-gelang,
kalung, blankon, dan lainnya. Tapi, mungkin yang membedakan adalah
barang-barang bertuliskan Yogya gitu kali, ya. Cuz I don't really find any different and unique things at this market.. Or maybe I haven't found it yet..
Sekian rangkuman cerita travelling dari saya. As I told you before that this post is just about my experience and my journey. You, know : "To travel is to take a journey into yourself." - Danny Kaye
Thanks for reading!!
Comments
Post a Comment