Dibuat untuk tugas kuliah jurnalistik
Siapa yang tidak stres menghadapi skripsi? Sebuah karya tulis ilmiah yang menjadi tugas akhir sekaligus penentu kelulusan mahasiswa. Sebuah karya tulis ilmiah yang mampu membuat mahasiswa bergidik dan mungkin “panas-dingin”. Ya. Sering kali skripsi menjadi “momok” menakutkan bagi mahasiswa, lantaran membuat skripsi tak semudah membalikkan telapak tangan. Mahasiswa harus “bayar harga” dulu untuk menyelesaikan skripsi, hingga akhirnya lulus dan mencapai sarjana. Upaya untuk “membayar harga” ini pula dapat menimbulkan stres tersendiri bagi mahasiswa.
Siapa yang tidak stres menghadapi skripsi? Sebuah karya tulis ilmiah yang menjadi tugas akhir sekaligus penentu kelulusan mahasiswa. Sebuah karya tulis ilmiah yang mampu membuat mahasiswa bergidik dan mungkin “panas-dingin”. Ya. Sering kali skripsi menjadi “momok” menakutkan bagi mahasiswa, lantaran membuat skripsi tak semudah membalikkan telapak tangan. Mahasiswa harus “bayar harga” dulu untuk menyelesaikan skripsi, hingga akhirnya lulus dan mencapai sarjana. Upaya untuk “membayar harga” ini pula dapat menimbulkan stres tersendiri bagi mahasiswa.
Banyak masalah klasik yang menjadi penyebab stres di kalangan
mahasiswa ketika mengerjakan skripsi. Farina Delvi Silaen (22), mahasiswi fisioterapi
Universitas Esa Unggul (UEU) yang sedang mengerjakan skripsi ini tak luput dari
tekanan dalam menghadapi skripsi. “Skripsi itu tugas akhir yang banyak menguras
waktu dan pikiran. Bikin stres,” jelasnya
singkat. Ia mengaku penyebab stres itu datang dari kendala yang dihadapinya dalam
pengerjaan skripsi. Kendala utama tersebut disebabkan salah satu dosen pembimbingnya
yang kurang jelas dalam memberikan arahan skripsi dan sulit menentukan waktu
konsultasi dengan dosen pembimbing yang sibuk, sehingga Farina mengalami
kesulitan menyelesaikan bab demi bab. Sejauh ini, Farina baru menyusun bab
empat sampai enam pada skripsinya yang berjudul Peningkatan Keseimbangan Penari
Ballet dengan Penambahan Dua Latihan yang Berbeda.
Sama halnya dengan Muhammad Sukardi (22), mahasiswa jurnalistik
UEU yang dilanda kebingungan dalam melanjuti bab empat pada skripsinya. Ardi,
begitu nama panggilannya, mengutarakan perasaannya saat ditanya perihal tekanan
yang dihadapinya saat skripsi. “Iya, stres. Stresnya itu, sih, lebih ke bimbingan yang tidak kunjung selesai juga dan revisi
terus-menerus. Bab empat pun aku gak
tahu mau tulis apalagi,” paparnya sambil tersenyum lesu. Ardi juga menerangkan
kendala yang dialaminya kini adalah kesulitan bagaimana menguraikan data yang
sudah diperoleh ke dalam bentuk tulisan. Kesulitan ini ia dapati saat
pengerjaan skripsi pada bab empat. Menurutnya, data pelengkap skripsi akan
sia-sia terkumpul, jika tidak dapat menuangkannya ke dalam bentuk tulisan dan
menganalisanya kembali secara rinci sesuai dengan topik dan landasan teori yang
dibahas.
Memang, kasus yang paling pelik dalam mengerjakan skripsi
adalah kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan pembimbing skripsi, cara
menulis dan mengembangkan pembahasan, serta revisi yang tak kunjung berakhir
dan terkesan merepotkan. Farina dan Ardi mengaku bahwa merevisi skripsi menjadi
faktor penyebab malas dalam mengerjakan skripsi. Namun, Ardi menimpali bahwa
hal tersebut merupakan konsekuensi saat menghadapi skripsi. “Itu, sih, masalah pribadi. Ketika Anda sudah
siap dengan segala resikonya, pasti Anda sudah siap hadapi skripsi. Beda dengan
orang yang malas dalam revisi skripsi. Itu terkesan individual kalau bagi aku.”
Selain itu, langkah persiapan awal menuju skripsi
juga sering menjadi masalah utama yang dialami mahasiswa. Seperti menyusun
kerangka berpikir, menentukan topik skripsi, melakukan kajian teori dan
penelitian menjadi langkah-langkah yang dipandang sulit dalam skripsi. Langkah
ini sangat menentukan konsistensi mahasiswa dalam mengerjakan skripisi dari bab
satu sampai empat. Nyatanya, banyak ditemukan kasus terhadap mahasiswa yang
tidak konsisten antara topik dengan data penunjangnya, sehingga mau tak mau,
mereka harus meriset kembali untuk mencari data yang valid dan konsisten. Tak
jarang juga karena hal ini mahasiswa mengganti topik secara mendadak, artinya
mereka harus melakukan penelitian lagi dari awal.
Namun, Euis Haryati, selaku ketua jurusan Public Relation UEU dan salah satu penguji
dalam sidang skripsi ini menjelaskan bahwa topik skripsi dapat ditentukan
dengan berbagai cara. Salah satunya adalah mengaitkan topik dengan apa yang
kita minati. “Carilah angle yang
bagus, di mana kita dapat banyak bercerita. Jangan ngotot terhadap satu judul kalau tidak mampu menguraikan landasan
teori yang ada. Menentukan topik dapat berangkat dari minat Anda dan hubungkan
ke ‘payung’ komunikasi Anda,” lanjutnya.
Faktor lain yang menyebabkan mahasiswa stres dan takut adalah
saat menghadapi sidang skripsi, di mana hasil karya ilmiah tersebut akan
dipertanyakan para penguji. Momen ini seakan sebuah klimaks dari pengerjaan
skripsi dan detik-detik terakhir yang menentukan kelulusan mahasiswa. Euis
sebagai penguji memiliki penilaian terhadap sidang skripsi nanti. Pertama,
prosedur skripsi harus benar. Kedua, akui kekurangan yang ada jika
dipertanyakan dosen penguji. Ketiga, yang paling dilihat adalah bagaimana
mahasiswa mampu mengatasi tekanan yang dihadapi saat sidang skripsi dan menjelaskan
dengan yakin mengenai skripsinya. “Ini memang menjadi ideal saya. Namun, yang
paling penting bangga dengan diri Anda sendiri dan jadi diri Anda sendiri,” tambahnya.
Menyoal masalah stres dan rasa takut yang dihadapi, Euis
menjelaskan mahasiswa tak usah sampai stres dan takut. “Anggap saja UN (Ujian
Nasional). Hanya, dalam bentuk tulisan. Dalam menulis (skripsi), memang harus
ada takut. Namun, jangan dibuat stres. Dalam melakukan penelitian, Anda yang tahu,
Anda yang menjelaskan,” jelasnya. Ia juga menambahkan agar mahasiswa menguasai
apa yang akan dibahas, sehingga skripsi tak perlu ditakuti.
Membahas kendala mahasiswa saat skripsi seperti tak ada
habisnya. Masalah demi masalah mungkin akan datang tanpa permisi dan tak peduli
seperti apa dan bagaimana kondisi mahasiswa. Untuk mengatasi permasalahan demi
permasalahan tersebut, sejujurnya ada satu kunci paling penting yang harus
disadari mahasiswa kini, yaitu persiapkan mental. “Rasa bosan dan malas itu
luar biasa. Maka dari itu, cara mahasiswa melihat skripsi itu penting. Anggaplah
skripsi sebagai sebuah karya Anda yang menjadi jati diri Anda sebagai
mahasiswa. Jadi, jangan asal-asalan mengerjakannya. Anda juga harus bangga,
dengan apa yang Anda kerjakan,” ungkap Euis. Mental yang dimaksud ini adalah kejujuran,
semangat, dan kerja keras dalam mengerjakan skripsi. Tak boleh lagi ada mental
menyontek atau melakukan teknik copy-paste
karya ilmiah orang lain pada skripsi. Jangan membiarkan rasa malas itu tumbuh
terlalu lama. Ardi dan Farina memberikan saran dan strategi jitu untuk
mengatasi rasa bosan dan malas jika menghadapi skripsi. “Ketika aku stres, aku
cari hiburan lain seperti ngobrol, dengerin lagu relaksasi di YouTube. Kalau sudah stuck, jangan dipikirkan. Tinggalkan
saja sebentar dan cari hiburan lain. Tapi, jangan lama-lama tinggalinnya, nanti
jamuran,” tuturnya sambil tertawa. Lain halnya dengan Farina dalam mengatasi
rasa bosan dan stres. “Kalau lagi buntu, tidak ada ide susun skripsi, biasanya
nonton film Korea sampai pagi. Haha.”
Euis juga menyarankan kepada mahasiswa yang belum menempuh
skripsi agar banyak membaca buku penunjang dan latihan menulis. Hal ini
bertujuan agar mahasiswa memiliki pengetahuan yang luas, persiapan matang, dan tentunya meminimalisir rasa
takut dan stres terhadap skripsi.
Skripsi adalah sebuah akhir dalam masa studi untuk
mengupayakan nilai yang terbaik, bukan “momok” menakutkan dan penyebab
mahasiswa stres. Jadikan skripsi sebagai jati diri, di mana mahasiswa melakukan
yang terbaik untuk menunjukkan jati dirinya kepada orang lain. “Stres itu
penting. Tapi, Anda harus bisa menyetirnya ke arah yang positif. Hidup kita
juga seperti itu. Masa kita mau dikuasain masalah?” jelas Euis dengan semangat.
Comments
Post a Comment