Helda meletakkan cangkir berisi
teh kamomil hangat yang baru saja diminum ke atas meja kayu bundar di
sampingnya. Aroma kamomil yang lembut selalu menjadi favoritnya untuk menikmati
ketenangan langit sore yang keunguan dengan
goresan jingga yang terlukis begitu indah. Sepoi-sepoi angin sejuk berhembus nakal menggoyangkan helai-helai rambut
hitam berkilau gadis itu.
Dengan perlahan namun pasti,
waktu menjemput matahari untuk terbenam, yang mulai tertutup dengan awan,
kemudian akan pergi untuk sementara bersama sinar terang sebagai keajaibannya.
Bulan dan bintang pasti sedang
bersiap-siap menggantikan si sumber cahaya itu.
Helda menyunggingkan senyum manis dari bibir
mungilnya.
“Cahaya selalu ada.. karena cahaya itu setia.” Ucap
Helda lembut, masih melihat langit.
Ya.. cahaya itu selalu ada. Seperti di kala pagi, matahari
siap memberikan sinarnya hingga ia terbenam di sore hari. Sesudahnya, bulan dan
bintang akan setia menggantikan matahari dan bersinar menghiasi bumi serta langit
malamnya sampai hari berganti pagi.. dan begitu seterusnya sampai alam semesta akan
melakukan hal yang sama lagi. Seakan cahaya tidak akan membiarkan kegelapan
menyelimuti bumi terlalu lama dan membuat resah tiap relung hati manusia.
Ya.. semudah ini Helda percaya bahwa cahaya itu
selalu ada.
Beep.. beep. Ponsel Helda berdering singkat.
Helda mengalihkan pandangannya dan dengan sigap meraih
ponsel dan menggeser tombol kunci layar ponsel dengan ibu jarinya.
Ikon surat tertampil di layarnya, menandakan pesan
masuk.
Helda menyentuh ikon tersebut.
From : My Sunshine
Afternoon there?
Baik-baik ya di sana.
I love you, Sweetie! J
Sesaat Helda tersenyum sendu. Helda sangat merindukan
‘My Sunshine’-nya yang tak lain adalah kekasihnya, Rafael.
Rafael. Satu nama itu yang menjadi cahaya hati Helda
yang paling setia. Sudah 2 tahun berjalan tanpa ada Rafael di sisinya. Rafael
harus melanjutkan kuliahnya di Jerman. Ia memilih kuliah di sana untuk
mengambil tehnik industri, sementara Helda, baginya, kuliah di Indonesia tak
kalah bagusnya. Ia memantapkan diri untuk menetap di tanah air dan kuliah
dengan jurusan psikolog di salah satu universitas negeri terbaik di Indonesia.
Ia meyakinkan dirinya pada hubungan jarak jauh – yang orang-orang bilang sulit
untuk bertahan lama-.
Selama 2 tahun itu, pada waktu yang berbeda pula di Jerman
dan Indonesia, Rafael tidak pernah lupa seharipun untuk mengirim pesan singkat
semanis itu. Walaupun terkesan pesan yang simple,
namun itu sungguh bermakna bagi Helda. Bukan mengenai berapa pulsa sms dan telpon
yang Rafael keluarkan tiap harinya, melainkan kesetiaan Rafael untuk selalu mengingat
Helda di setiap waktu. Itu sudah cukup istimewa bagi Helda.
Ini kesetiaan,
pikirnya. Helda percaya bahwa Rafael setia.
“Fiuuh…” Helda menghela nafas panjang. Mata hazelnya yang
indah menerawang ke awan-awan langit. Berharap awan membentuk wajah Rafael dan
mengobati rasa rindunya saat ini.
“Besok ulang tahun aku, Raf. Apa kamu inget yah?”
Ucap Helda seakan bertanya pada penjuru langit.
Helda terdiam lama. Tak sengaja, pandangan matanya
terpaku pada bingkai foto berukuran 8R di meja. Foto Helda bersama seorang
perempuan yang sebaya dengannya. Naya. Cahaya hatinya yang kedua. Dia adalah sahabat
lama Helda yang paling tau sejarah
hubungan Helda dengan Radit, sampai detail kecilnya. Naya sudah berteman dekat
dengan Helda dan Radit sejak SMA. Keberuntungan memang di pihak Helda. Helda
yang notaben-nya bukan “anak kesayangan-guru-karena cerdas-dan-selalu patuh”
seperti Naya, dapat masuk ke universitas negeri terbaik di Indonesia. Bahkan
Helda satu tempat kuliah dengan Naya, satu jurusan, dan selalu satu kelas.
Setengah percaya bahwa Dewi fortuna hadir di antara sepasang sahabat itu.
Helda menghela nafas. Ia hanya berharap kedua cahaya
hatinya dapat menemaninya besok. Ya, besok. Hari peringatan bagi Helda dimana
Tuhan menitipkan salah satu cahaya-Nya kepada kedua orang tua Helda. Sayang,
mereka sudah meninggal karena sebuah kecelakaan mobil sejak tiga tahun yang
lalu, satu tahun sebelum keberangkatan Rafael ke Jerman. Ironisnya, insiden itu
terjadi saat ulang tahun Helda yang ke-17.
Namun.. Tuhan selalu adil. Di kala Helda kehilangan,
Ia memberikan Rafa dan Naya sebagai cahaya yang siap menyinarinya lagi dari keresahan
akan gelap dan ketakutan akan sepi.
Rafa dan Naya. Helda tidak pernah mau kehilangan
kedua cahayanya.
***
"Happy birthday... Happy birthday... Happy
birthday to you....."
Sayup terdengar alunan suara yang tak asing mulai
memasuki kamar Helda, diikuti dengan suara derit pintu kayu coklat tua berukir
HR – Helda Rafa- dengan warna senada didepannya.
Naya. Dia memang bukan satu-satunya teman yang Helda
punya. Tapi dia adalah satu-satunya sahabat yang selalu ada, selalu menerima,
selalu menasihati, disaat kapanpun Helda membutuhkan seseorang.
Naya membawa cup cake coklat mini dengan satu lilin
kecil menyala yang ditancapkan di atas permukaan kue.
Helda menerima cup cake coklat gembira. “Thanks yah, Nay.. You’re the best.”
Helda menerima cup cake coklat gembira. “Thanks yah, Nay.. You’re the best.”
“You’re welcome. By
the way.. gimana Rafael?”
“Gimana apanya?”
“Dia udah ngucapin selamat ulang tahun,kan ?”
Helda terdiam. Itu adalah hal yang ia tunggu-tunggu
sejak waktu menunjukkan pukul 00.01 WIB. Ucapan ‘selamat ulang tahun’ langsung
dari Rafa belum sampai ke telinganya. Bahkan lewat sms atau sosial media pun belum.
Padahal, Helda tahu betul Rafael pasti tahu perbedaan waktu Jerman-Indonesia. Rafael
pasti menandai “My sunshine’s Birthday” di tanggal kalender hari ini. Dan
Rafael harusnya tidak boleh lupa dengan hari ulang tahun kekasihnya sendiri.
Helda hanya mampu menggeleng.
Naya mengernyit heran. “Dia lupa? Apa dia udah
kabarin kamu?”
Helda menggeleng ragu.
“Tapi, Hel.. Ini udah sore. Masa Rafa belum kabarin
apa-apa ke kamu?”
Helda baru sadar, belum ada satu pesan pun dari
Rafael sejak pagi tadi. Wajahnya menoleh kepada layar ponsel. Firasat demi
firasat menguasai pikiran dan hatinya.
Helda menatap sedih cahaya lilin yang ditancapkan di atas cup cake. Pandangannya terlihat layu. “Gak tau, Nay. Mungkin Rafa
lupa sama ulang tahun aku.”
“siapa bilang lupa?” suara ngebass seorang pria
datang dari arah pintu kamar Helda. Seorang pria dengan satu buket mawar putih
di tangannya menghampiri Helda.
Helda tidak percaya ada sesosok pria yang mengenakan
setelan kemeja biru muda berlengan panjang dipadu dengan jins belel yang ada di
hadapannya saat ini.
“R-r-r-rafa?” ucap Helda ragu.
Naya yang masih berada di sampingnya tersenyum jahil,
seakan sudah tau akan sandiwara kecil ini.
“Happy birthday, Darling. I miss you so much.” Rafa
memberikan buket bunga mawar putih kepada Helda dan memeluk Helda dengan erat.
Helda terdiam, setengah tak percaya akan kehadiran
Rafa saat ini. Dua tahun sudah jarak memisahkan Helda dan Rafa. Dua tahun itu
juga Helda berusaha menjaga cahaya hatinya.
Kini, dua tahun itu terbayar sudah dengan kehadiran
Rafa di hari ulang tahunnya.
Tak sadar bulir-bulir air mata menetes dari kedua
bola mata Helda. Helda takut cahayanya berpaling meninggalkan Helda. Untungnya tidak. Helda menangis tanda bahagia. Senyum terukir dengan manis di
bibir mungilnya.
“Udah.. jangan nangis gitu dong, Hel. Kan ‘My Sunshinse’
kamu udah dateng jauh-jauh dari Jerman. Hehehe.”
“Kamu tuh rese banget tau, Nay. Kenapa gak bilang
dari tadi sih? Rafa juga. Gak bilang kalo kamu udah balik dari Jerman.”
Naya tertawa terbahak-bahak mendengar Helda
menggerutu.
“Hehehe. Sorry. Kita berdua mau kasih surprise ke
kamu. Rafa baru balik dari Jerman kemarin malem, Hel. Dia kasih tau aku supaya jangan kasih tau ke kamu dulu.”
Rafa ikut tertawa. “Iya maafin aku ya.. tapi sekarang
aku seneng banget bisa liat kamu di sini. Kangen aku terbayar tau.. hehe.
Sekarang kamu tiup lilinnya, gih.. terus ucapkan keinginan kamu.”
Lilin berangka dua puluh yang menyala sedari tadi,
mulai terbakar dan melelehkan sisi-sisinya. Perlahan Helda menutup kedua
matanya sembari membisikkan harapannya kepada Tuhan. Dan Helda meniup lilinnya.
"I wish your dreams come true..", Bisik Rafa
diiringi senyum manis yang membuahkan lesung pipi.
Bahagia. Tak ada kata yang mampu mendefinisikannya.
Hanya rasa, hanya rasa bahagia yang kini Helda rasa, tanpa harus ada kata yang
diutarakan. Bahagia mendapat kejutan. Bahagia memiliki sahabat. Bahagia
dikelilingi oleh orang-orang yang kita sayangi. Bahagia bersama orang yang
selalu kita harapkan, seperti bulan bintang yang merindukan mentarinya.
***
Cahaya...
Cahaya...
Dalam sunyi aku berlari
Dalam gelap aku menanti
Akankah kau tetap disana?
Cahaya...
Tiada hari tanpa sinarmu
Begitu pula dengan bayang yang slalu mengikuti
langkahku
Cahaya...
Akankah yang ku rasa sama denganmu?
Terang yang sama?
Sinar yang sama?
Cahaya...
Keberadaanmu meyakinkanku akan sebuah kesetiaan
Bak mentari yang slalu menyambut bulan bintangnya
Cahaya...
Inikah sinar yang kita genggam bersama?
Ku harap iya..
-HR 13.02.2010- "
***
Comments
Post a Comment